Sebuah Catatan tidak di penuhinya amanat kontitusi (anggaran pendidikan sebesar 20%)
Terlalu provokatif dan tidak berdasar pernyataan judul diatas, namun bagi saya ini bukan berangkat dari sebuah sikap keragu-raguan maupun ngawur atau bahkan provokatif tanpa dasar. Yang menjadi keraguan hanya kemungkinan hal ini akan terjadi.
Mencabut mandat kepala daerah atau bahkan presiden sekalipun dapat di lakukan apabila secara terang para pemegang amanah ini melakukan tindakan melanggar konstitusi tertinggi Negara. Saat ini dengan tidak direalisasikannya anggaran pendidikan sebesar 20% maka Presiden RI, termasuk para kepala daerah di seluruh Indonesia yang belum menetapkan anggaran pendidikan minimal sebesar 20 % telah melakukan pelanggaran konstitusi UUD 1945. Jelas dalam BAB XIII Pasal 31 ayat 4 berbunyi bahwa “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”
Selain dari itu dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 (SISDIKNAS) BAB XIII Pasal 49, berbunyi bahwa : “Dana Pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan ke dinasan di alokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
Dengan tidak direalisasikannya anggaran pada sektor pendidikan minimal 20% maka telah terjadi pelanggaran Konstitusi.
Proses impeachment, adalah konswekuensi logis yang harus di terima apabila terjadi pelanggaran konstitusi bagi seorang pemimpin pemerintahan (sebagaimana disebutkan dalam UUD ’45). Akan tetapi apakah mungkin terjadi hal ini di Negara Kesatuan Republik Indonesia? Karena saat ini yang di rasakan, di NKRI hukum hanya akan tajam kebawah, seperti mata golok yang selalu diasah dan digunakan pada bagian bawahnya. Warga Negara akan di hukum dengan di kerangkeng, apabila terbukti bersalah melanggar UU tertentu, seperti ketika mengendarai kendaraan bermotor apabila melanggar UU lalu lintas maka warga Negara akan dikenakan ditilang, begitu pula pedagang kaki lima akan di usir apabila melanggar Produk Hukum daerah (peraturan daerah) tentang aturan berjualan meski ada alasan untuk menyambung hidup.
Berbeda dengan pelanggaran UUD 1945 yang di lakukan penguasa saat ini, penguasa tidak akan mau dikatakan salah, karena seakan kebenaran hanya milik mereka. Mereka beralasan tidak di penuhinya kewajiban anggaran minimal 20% untuk pendidikan, karena masih ada prioritas pada sektor lain yang lebih mendesak dan sejumlah alasan masuk akal lainnya. Menjadi pertanyaan, sebaiknya di dahulukan yang mana antara Undang-Undang Dasar dan kebutuhan lain yang mendesak? Atau lebih dahulu mana antara Undang-Undang Dasar dengan sejumlah alasan-alasan tuan-tuan dalam tidak menganggarkan minimal 20% untuk dunia pendidikan? Bukankah Undang Undang Dasar yang mestinya di dahulukan.
Kejadian ini merupakan realitas yang tidak bisa dibiarkan berlalu begitu saja, setelah mengingatkan berkali-kali dan menuntut berulang-ulang bahkan sampai telah di dapat hasil judicial review oleh Mahkamah Konstitusi bahwa mengabaikan penganggaran minimal 20% untuk pendidikan adalah pelanggaran konstitusi.
Pemerintah masih belum tergerak sepenuhnya untuk melakukan perubahan, begitu juga di Kalimantan Tengah, Pemerintah Propinsi maupun kabupaten/kota belum bersikap dengan jelas terhadap permasalahan ini. Demikian pula dengan partai politik yang ada, hampir semuanya masing-masing sibuk dengan agenda perebutan kekuasaan ‘pilkada’. Nasib anak cucu yang juga di tentukan oleh bidang pendidikan sedikit sekali porsinya untuk di bahas, apalagi di implementasikan.
Ketika terjadi satu kali pembiaran pelanggaran konstitusi, maka sangat di khawatirkan terjadi berulang dengan kasus yang berbeda. Apa jadinya bila selalu terjadi pemakluman atas pelanggaran konstitusi Negara, bukan tidak mungkin dalam Negara akan terjadi sebuah kekacauan apabila landasan pijak penyelenggaraannya selalu dikompromikan dalam penegakannya. Terlepas itu kompromi politik atau bahkan kompromi demi kepentingan ekonomi, pelanggaran konstitusi Negara pasti akan membawa bangsa sebesar apapun ke jurang malapetaka. Sebuah contoh untuk kekhawatiran ini, misalnya ketika tengah berjalannya sidang terhadap seorang koruptor uang Negara Triliunan Rupiah atau pelaku pembocoran rahasia Negara tiba – tiba di hentikan karena terjadi kompromi atas Undang-undang yang akan di pakai, apakah dengan demikian masih layak negara tersebut di katakan sebagai institusi yang memberikan jaminan keadilan.
Dari sudut permasalahan kesejahteraan rakyat, sangat dikhawatirkan ketika konstitusi yang berisi ketetapan untuk mensejahterakan rakyat di abaikan, karena negara di atur dengan prinsip semau gue. Apabila kondisi seperti ini betul – betul terjadi, maka jajaran penguasa negeri sama saja sedang mengajak mati rakyat dalam kesengsaraan.
Proses cabut mandat memang bukan jalan keluar yang terbaik apabila pemerintah segera memperbaiki kekeliruannya,tetapi apabila kekeliruan terhadap pelanggaran konstitusi tertinggi NKRI masih di biarkan, maka aksi cabut mandat kepada pemerintah sekiranya bukan lagi Slogan Tanpa Makna.
Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya.
YAKIN USAHA SAMPAI
Tanggalnya lupa
0 comments:
Posting Komentar