Oleh : Rano Rahman *)
Arah perjalanan reformasi yang telah melewati masa lebih dari sepuluh tahun kini semakin memperlihatkan gejala politik yang bersifat paradok. Hampir semua hal yang dikecam pada zaman Orde Baru seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme kini secara telanjang dipraktikkan elite partai politik peserta Pemilu 2009.
Sebagian besar pelaku politik kita lebih banyak memakai topeng, sosok sebagai penegak demokrasi di tampilkan dengan berbagai gaya dan aksi, dalam berbagai forum dan kesempatan dia berbicara demokrasi, anti oligarki, mengecam penguasa dan prakteknya, tetapi itu ternyata hanya sekedar topeng saja.
Meskipun berdiri ditengah partai politik yang membawa label demokrasi, tetaplah wajah asli di balik topeng akan terlihat di suatu saat, bahkan mulai saat ini. Mereka melanggengkan praktik kolusi, korupsi dan nepotisme, memang di balik itu semua bisa berkilah bahwa itu kita berangus sejalan dengan semangat reformasi tentunya.
Berhubungan erat dengan fenomena saat ini, dari hangar-bingar suasana menjelang pemilu 2009, politik nepotisme ramai bicarakan, ada yang mengatakan bahwa sikap tamak kekuasaan dengan membawa kerabat tidak pernah ditanggalkan. Perilaku ini seakan membenarkan untaian kalimat yang mengatakan bahwa sekecil apa pun kekuasaan cenderung korup.
Mestinya, tradisi politik kekerabatan itu hanya dijumpai dalam masyarakat yang feodalis bukan pada jaman peradaban modern. Namun, fakta itulah yang kini disuguhkan dalam penyusunan calon anggota legislatif (caleg) Pemilu 2009.
Daftar Calon Tetap (DCT) Calon Anggota Legislatif telah di umumkan oleh Komisi Pemilihan Umum. Namun, hiruk-pikuk penyusunan daftar caleg sudah menembus ke luar batas tembok partai. Orang-orang dekat penguasa partai dan mereka yang mengandalkan popularitas seperti artis menduduki nomor urut topi. Ada anak, istri, suami, dan kemenakan dari lingkaran dalam kekuasaan partai yang digadang menjadi caleg. Pemilik harta berlimpah juga tidak sulit membeli nomor jadi untuk melenggang menjadi caleg.
Bagaimana nasib mereka yang sejak awal setia meniti karier dalam jalur partai politik dan tidak berlimpah uang? Mereka juga menjadi caleg, tapi berada di urutan nomor alas kaki. Mereka hanya menggantungkan harapan pada keajaiban agar bisa duduk menjadi wakil rakyat.
Menjadi anggota dewan sepertinya tergantung pada garis tangan. Ironisnya, garis itu dibuat pemimpin partai di atas tangan caleg. Kompetisi dan kompetensi tidak dipakai. Itulah wajah politik negeri ini yang memperlihatkan sifat paradoksal. Partai hanya dijadikan kendaraan untuk mempertahankan dinasti politik. Elite partai sesungguhnya ingin melanggengkan genealogi politik di kalangan anggota keluarga sendiri dalam penentuan caleg. Alasan basi yang disodorkan adalah garis keturunan penting untuk menjaga ideologi. Adalah benar bahwa genealogi politik diharapkan mampu merawat trah kekuasaan dan kelanggengan dinasti politik keluarga. Alasan lain yang sulit disangkal ialah keinginan untuk mempertahankan penguasaan atas akses ke sumber-sumber ekonomi dan finansial.
Melalui jalur kekerabatan, bukanlah mustahil DPR/DPRD Propinsi/ DPRD kota hasil Pemilu 2009 berisikan anak-beranak dan kerabat para pemimpin partai. Pemilu yang seharusnya dijadikan sarana konstitusional untuk mengganti aktor-aktor politik di panggung kekuasaan, akhirnya tidak lebih sebagai sebuah ritus demokrasi untuk mengukuhkan pementasan drama politik kekerabatan.
Panjangnya catatan kekecewaan terhadap kinerja wakil rakyat yang duduk di kursi empuk legislatif seolah tidak dijadikan alat untuk membangun kesadaran. Kini partai-partai politik seakan kembali mempermainkan perasaan rakyat dalam perekrutan calon anggota legislatif yang nepotisme. Memang jika dilihat sekilas, persoalan penyusunan caleg terkesan sebagai masalah sepele, karena tidak berdampak langsung terhadap rakyat. Tetapi, lama-lama akan tercium, ada aroma busuk dalam penyusunan caleg. Barangkali, ini yang menjadi penyebab bakal melambungnya angka golongan putih (golput). Jika mekanisme awal penyusunan daftar caleg saja cenderung kurang jujur dan melakukan nepotisme, bagiamana kedepannya.
Harapan anggota legislatif akan membela kepentingan konsituen dan rakyat mulai dipupuskan saat ini juga. Mengapa? Karena merekalah nantinya yang akan menyuarakan kepentingan rakyat dan konstituen.
Bagaimanapun yang terjadi, semua ini tentuanya ada latar belakangnya, atau dengan kata lain sebagai pembenaran mengapa harus ada caleg keluarga dan keluarga caleg. Dalam catatan saya ada beberapa alasan yang mengemuka mengenai terjadinya politik keluarga ini, yaitu:
Pertama, proses rekrutmen dan kaderisasi partai politik yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Namun, pada kenyataannya proses kaderisasi dalam partai politik kebanyakan mandeg, tidak pernah ada proses pendidikan kader dan rekrutmen anggota maupun pengurus partai yang baik dan sistemik. Hal ini kembali pada para elit partai yang ada, karena mereka tidak mampu menciptakan proses kaderisasi partai yang mapan.
Kedua, sikap sebagian besar masyarakat yang apatis terhadap partai politik sehingga partai politik hanya bisa merekrut orang-orang di "lingkaran dalam" partai politik untuk menjadi calon anggota legislatif. Alasan ini sebetulnya sangat tidak relevan, terbukti begitu besar animo masyarakat kita terhadap dunia politik, ini nampak dari banyaknya jumlah partai politik dan jumlah calon anggota legislatifnya.
Ketiga, partai politik lebih percaya pada anggota keluarga dari "lingkaran dalam" dibandingkan orang lain yang belum dikenal. Hal ini sebenarnya sangat relatif kebenarannya apabila ruang untuk saling mempercayai di sediakan oleh para elit partai sendiri, sehingga pernyataan ini bisa di mentahkan.
Keempat, sebagai upaya mengamankan posisi petinggi partai politik atau pejabat yang bersangkutan di segala lini. Alasan terakhir ini menunjukan bahwa prinsip oligarki kekuasaan masih di jaga kelanggengannya.
Pada prinsipnya siapa pun memiliki kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Tidak boleh ada halangan bagi keluarga presiden, keluarga gubernur, keluarga tukang sayur, atau keluarga tukang becak untuk maju memperebutkan jabatan publik seperti kepala negara, kepala daerah, atau anggota legislatif. Namun, masyarakat juga punya hak untuk memilih seseorang yang benar-benar berkualitas untuk memegang jabatan publik sehingga relevan dengan jabatan publik yang diincarnya. Maka sekali-kali jangan pernah salahkan masyarakat apabila timbul kecurigaan terhadap calon anggota legislatif dari anggota keluarga petinggi partai atau pejabat tersebut.
Apabila partai politik memang benar-benar mengajukan calon anggota legislatif yang berkualitas dan tidak mau terus menerus dicurigai masyarakat maka segera umumkan secara terbuka informasi lengkap mengenai calon anggota legislatif yang diusungnya.
Informasi tersebut minimal harus memuat nama, foto terbaru, latar belakang pendidikan, latar belakang pekerjaan, dan pengalaman organisasi serta aktivitas sosial yang relevan lainnya. Melalui informasi yang memadai masyarakat dapat memberikan penilaian yang lebih fair terhadap para calon anggota legislatif yang diusung partai politik. Karena itu, mari kita periksa secara saksama rekam jejak caleg sebelum memilih.
Jangan sekali-kali memilih caleg yang berbau nepotisme untuk meneruskan dinasti politik keluarga, karena sudah pasti caleg yang seperti ini masuk dalam kategori politikus busuk yang harus ditolak.
Sebagian besar pelaku politik kita lebih banyak memakai topeng, sosok sebagai penegak demokrasi di tampilkan dengan berbagai gaya dan aksi, dalam berbagai forum dan kesempatan dia berbicara demokrasi, anti oligarki, mengecam penguasa dan prakteknya, tetapi itu ternyata hanya sekedar topeng saja.
Meskipun berdiri ditengah partai politik yang membawa label demokrasi, tetaplah wajah asli di balik topeng akan terlihat di suatu saat, bahkan mulai saat ini. Mereka melanggengkan praktik kolusi, korupsi dan nepotisme, memang di balik itu semua bisa berkilah bahwa itu kita berangus sejalan dengan semangat reformasi tentunya.
Berhubungan erat dengan fenomena saat ini, dari hangar-bingar suasana menjelang pemilu 2009, politik nepotisme ramai bicarakan, ada yang mengatakan bahwa sikap tamak kekuasaan dengan membawa kerabat tidak pernah ditanggalkan. Perilaku ini seakan membenarkan untaian kalimat yang mengatakan bahwa sekecil apa pun kekuasaan cenderung korup.
Mestinya, tradisi politik kekerabatan itu hanya dijumpai dalam masyarakat yang feodalis bukan pada jaman peradaban modern. Namun, fakta itulah yang kini disuguhkan dalam penyusunan calon anggota legislatif (caleg) Pemilu 2009.
Daftar Calon Tetap (DCT) Calon Anggota Legislatif telah di umumkan oleh Komisi Pemilihan Umum. Namun, hiruk-pikuk penyusunan daftar caleg sudah menembus ke luar batas tembok partai. Orang-orang dekat penguasa partai dan mereka yang mengandalkan popularitas seperti artis menduduki nomor urut topi. Ada anak, istri, suami, dan kemenakan dari lingkaran dalam kekuasaan partai yang digadang menjadi caleg. Pemilik harta berlimpah juga tidak sulit membeli nomor jadi untuk melenggang menjadi caleg.
Bagaimana nasib mereka yang sejak awal setia meniti karier dalam jalur partai politik dan tidak berlimpah uang? Mereka juga menjadi caleg, tapi berada di urutan nomor alas kaki. Mereka hanya menggantungkan harapan pada keajaiban agar bisa duduk menjadi wakil rakyat.
Menjadi anggota dewan sepertinya tergantung pada garis tangan. Ironisnya, garis itu dibuat pemimpin partai di atas tangan caleg. Kompetisi dan kompetensi tidak dipakai. Itulah wajah politik negeri ini yang memperlihatkan sifat paradoksal. Partai hanya dijadikan kendaraan untuk mempertahankan dinasti politik. Elite partai sesungguhnya ingin melanggengkan genealogi politik di kalangan anggota keluarga sendiri dalam penentuan caleg. Alasan basi yang disodorkan adalah garis keturunan penting untuk menjaga ideologi. Adalah benar bahwa genealogi politik diharapkan mampu merawat trah kekuasaan dan kelanggengan dinasti politik keluarga. Alasan lain yang sulit disangkal ialah keinginan untuk mempertahankan penguasaan atas akses ke sumber-sumber ekonomi dan finansial.
Melalui jalur kekerabatan, bukanlah mustahil DPR/DPRD Propinsi/ DPRD kota hasil Pemilu 2009 berisikan anak-beranak dan kerabat para pemimpin partai. Pemilu yang seharusnya dijadikan sarana konstitusional untuk mengganti aktor-aktor politik di panggung kekuasaan, akhirnya tidak lebih sebagai sebuah ritus demokrasi untuk mengukuhkan pementasan drama politik kekerabatan.
Panjangnya catatan kekecewaan terhadap kinerja wakil rakyat yang duduk di kursi empuk legislatif seolah tidak dijadikan alat untuk membangun kesadaran. Kini partai-partai politik seakan kembali mempermainkan perasaan rakyat dalam perekrutan calon anggota legislatif yang nepotisme. Memang jika dilihat sekilas, persoalan penyusunan caleg terkesan sebagai masalah sepele, karena tidak berdampak langsung terhadap rakyat. Tetapi, lama-lama akan tercium, ada aroma busuk dalam penyusunan caleg. Barangkali, ini yang menjadi penyebab bakal melambungnya angka golongan putih (golput). Jika mekanisme awal penyusunan daftar caleg saja cenderung kurang jujur dan melakukan nepotisme, bagiamana kedepannya.
Harapan anggota legislatif akan membela kepentingan konsituen dan rakyat mulai dipupuskan saat ini juga. Mengapa? Karena merekalah nantinya yang akan menyuarakan kepentingan rakyat dan konstituen.
Bagaimanapun yang terjadi, semua ini tentuanya ada latar belakangnya, atau dengan kata lain sebagai pembenaran mengapa harus ada caleg keluarga dan keluarga caleg. Dalam catatan saya ada beberapa alasan yang mengemuka mengenai terjadinya politik keluarga ini, yaitu:
Pertama, proses rekrutmen dan kaderisasi partai politik yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Namun, pada kenyataannya proses kaderisasi dalam partai politik kebanyakan mandeg, tidak pernah ada proses pendidikan kader dan rekrutmen anggota maupun pengurus partai yang baik dan sistemik. Hal ini kembali pada para elit partai yang ada, karena mereka tidak mampu menciptakan proses kaderisasi partai yang mapan.
Kedua, sikap sebagian besar masyarakat yang apatis terhadap partai politik sehingga partai politik hanya bisa merekrut orang-orang di "lingkaran dalam" partai politik untuk menjadi calon anggota legislatif. Alasan ini sebetulnya sangat tidak relevan, terbukti begitu besar animo masyarakat kita terhadap dunia politik, ini nampak dari banyaknya jumlah partai politik dan jumlah calon anggota legislatifnya.
Ketiga, partai politik lebih percaya pada anggota keluarga dari "lingkaran dalam" dibandingkan orang lain yang belum dikenal. Hal ini sebenarnya sangat relatif kebenarannya apabila ruang untuk saling mempercayai di sediakan oleh para elit partai sendiri, sehingga pernyataan ini bisa di mentahkan.
Keempat, sebagai upaya mengamankan posisi petinggi partai politik atau pejabat yang bersangkutan di segala lini. Alasan terakhir ini menunjukan bahwa prinsip oligarki kekuasaan masih di jaga kelanggengannya.
Pada prinsipnya siapa pun memiliki kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Tidak boleh ada halangan bagi keluarga presiden, keluarga gubernur, keluarga tukang sayur, atau keluarga tukang becak untuk maju memperebutkan jabatan publik seperti kepala negara, kepala daerah, atau anggota legislatif. Namun, masyarakat juga punya hak untuk memilih seseorang yang benar-benar berkualitas untuk memegang jabatan publik sehingga relevan dengan jabatan publik yang diincarnya. Maka sekali-kali jangan pernah salahkan masyarakat apabila timbul kecurigaan terhadap calon anggota legislatif dari anggota keluarga petinggi partai atau pejabat tersebut.
Apabila partai politik memang benar-benar mengajukan calon anggota legislatif yang berkualitas dan tidak mau terus menerus dicurigai masyarakat maka segera umumkan secara terbuka informasi lengkap mengenai calon anggota legislatif yang diusungnya.
Informasi tersebut minimal harus memuat nama, foto terbaru, latar belakang pendidikan, latar belakang pekerjaan, dan pengalaman organisasi serta aktivitas sosial yang relevan lainnya. Melalui informasi yang memadai masyarakat dapat memberikan penilaian yang lebih fair terhadap para calon anggota legislatif yang diusung partai politik. Karena itu, mari kita periksa secara saksama rekam jejak caleg sebelum memilih.
Jangan sekali-kali memilih caleg yang berbau nepotisme untuk meneruskan dinasti politik keluarga, karena sudah pasti caleg yang seperti ini masuk dalam kategori politikus busuk yang harus ditolak.
* Ketua Umum HMI Cabang Palangka Raya periode 2007-2008
0 comments:
Posting Komentar